Gadis dari Lembah Dua Gapura
Karya : Gian Sugianto M.Pd
Pada masa silam, di sebuah lembah subur yang dikelilingi bukit dan hutan, hidup seorang gadis kecil bernama Laras. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, di sebuah gubuk reyot di pinggir hutan. Ayahnya telah lama wafat akibat tertimpa pohon saat mencari kayu bakar.
Setiap pagi, Laras berjalan jauh melewati sawah dan sungai kecil untuk pergi ke sekolah. Baju yang ia kenakan hanya satu-satunya, lusuh dan tambal sulam. Sepatunya sudah terlalu sempit, namun ia tetap memakainya agar bisa duduk di kelas seperti anak-anak lain.
Sayangnya, tak semua teman di sekolah menghargai Laras. Banyak dari mereka yang mengejeknya. "Anak miskin bau tanah!" seru seorang anak laki-laki. "Kenapa kamu datang sekolah kalau cuma punya satu buku?"
Laras hanya tersenyum dan menunduk. Ia tak pernah membalas hinaan itu. Dalam hatinya, ia yakin bahwa Tuhan melihat kesungguhan dan kerja kerasnya. Ia percaya bahwa ilmu akan membawanya keluar dari kesulitan.
Setiap malam, Laras belajar di bawah cahaya lampu minyak. Jika minyak habis, ia membaca di bawah cahaya bulan. Ia mencatat pelajaran di lembaran bekas kertas bungkus dan membaca buku pinjaman dari perpustakaan kecil sekolah.
Ibu Laras selalu berkata, “Nak, sabarlah. Hinaan mereka bukan takdir. Yang penting hatimu tidak kotor, dan pikiranmu tetap terang.” Kalimat itu tertanam dalam jiwa Laras.
Di desa itu, berdiri dua gapura batu tua yang katanya berasal dari zaman kerajaan kuno. Orang-orang percaya bahwa tempat itu sakral. Banyak yang datang berdoa di dekatnya. Laras pun sering duduk di sana usai sekolah, merenung dan memohon kekuatan agar tidak menyerah.
Waktu berlalu, Laras tumbuh menjadi remaja. Ia lulus dari sekolah dasar dengan nilai terbaik, bahkan mengalahkan anak-anak kaya yang biasa menghina dirinya. Guru-guru mulai menyadari keistimewaannya.
Seorang guru dari kota yang sedang mengabdi di desa itu tertarik pada semangat Laras. Ia lalu menghubungi kenalannya di yayasan pendidikan untuk mencarikan beasiswa bagi Laras. Tak lama, datanglah kabar bahwa Laras diterima di sekolah menengah unggulan di kota.
Sebelum pergi, seluruh warga desa berkumpul. Mereka yang dulu meremehkan Laras kini menunduk malu. Laras, dengan senyum hangat, tidak menunjukkan dendam. Ia justru berterima kasih kepada mereka semua karena telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Di kota, Laras bekerja keras. Ia tetap sederhana, tetap rendah hati, dan terus belajar. Ia kemudian lulus sebagai sarjana dengan nilai terbaik dan menjadi guru di desanya sendiri. Kini, ia mengajar di sekolah tempat dulu ia dihina.
Warga desa kini menghormati Laras. Mereka menjadikannya panutan, dan anak-anak belajar untuk tidak menilai orang dari pakaian atau harta. Laras bukan lagi gadis miskin yang dicemooh. Ia adalah lambang harapan, bukti bahwa Tuhan tidak tidur, dan selalu mengangkat derajat orang yang sabar dan tekun.
Kisah Laras mengajarkan kita bahwa kemiskinan bukanlah akhir dari harapan, dan hinaan bukanlah penghalang bagi masa depan. Dengan kesabaran, tekad, dan semangat belajar yang tak pernah padam, seseorang bisa mengubah nasibnya sendiri. Tuhan tidak pernah lalai melihat perjuangan hamba-Nya yang tulus. Jadilah seperti Laras, yang tidak hanya mengejar mimpinya, tetapi juga kembali untuk membagikan terang kepada orang lain.
....selesai....
Komentar
Posting Komentar